Fenomena Mati Berjamaah Karena Miras Oplosan

Judul postingan kali ini memang agak nyeleneh karena ada istilah "mati berjamaah".
Ini terkait dengan fenomena sosial yang minggu ini menghiasi headline berita televisi yaitu maraknya kembali "pemabuk" yang meninggal karena miras oplosan di Garut dan Sumedang. Belasan orang pemuda-pemudi tanggung kembali harus kehilangan nyawa sesudah pesta miras oplosan di Garut dan Sumedang. Ini sudah menjadi kejadian yang ke berapa kali dan seolah manusia Indonesia tidak pernah jera dan menyadari akan bahaya miras.
Ini adalah persoalan mentalitas dari beberapa masyarakat Indonesia yang memang sudah mengakar dan harus segera dirubah. Pada kejadian kali ini para pemabuk yang melakukan pesta miras oplosan mayoritas adalah para remaja tanggung berusia belasan hingga tak sampai usia 30an. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?Sejatinya mereka merupakan anak-anak sekolah yang tentunya sudah pasti diajari oleh guru-guru mereka tentang bahaya miras dan sifatnya yang haram karena dapat memicu tindak kriminal lainnya. 
Pendidikan memang sejatinya harus bisa membentengi remaja-remaja Indonesia dari perilaku-perilaku menyimpang seperti mabuk. Namun diluar hal tersebut memang ada faktor lain yang menyebabkan pendidikan tersebut masih belum mempan memberikan nutrisi iman kepada remaja-remaja tersebut. 



Bayangkan alkohol dengan kadar persen diatas 70% mereka minum?Dimana rasio dan akal remaja-remaja tersebut?Apa yang mereka cari?. Jika menilik pada sifat remaja dalam ilmu psikologi pastinya akan didapat prinsip-prinsip berikut:
  • remaja adalah manusia yang masih mencari jati diri.
  • remaja senang mencari hal baru terutama terkait sensasi.
  • remaja selalu ingin diakui dalam kelompoknya.
  • remaja adalah manusia yang ingin bebas dan sulit diatur.
  • dan lainnya
Lalu senjata apa yang paling ampuh membentengi remaja-remaja Indonesia saat ini dari perilaku-perilaku menyimpang?. Tentunya jawaban pastinya adalah "pendidikan", namun dalam hal ini pendidikan bukan hanya di bangku sekolah (formal). Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang holistik/menyeluruh. Artinya pendidikan holistik merupakan penggabungan pendidikan di rumah, sekolah dan lingkungan masyarakat. Tentunya pendidikan pertama yang dialami anak adalah di rumah. Jadi dalam hal ini orang tua wajib memberikan pendidikan karakter mulai dari anak di rumah keluar rumah sampai kembali ke rumah. Mungkin banyak yang beranggapan bahwa pendidikan merupakan tugas sekolah dalam hal ini guru berkewajiban memberikan pembentukkan karakter siswa. Akan tetapi hal tersebut tidaklah cukup, perlu kombinasi antara orang tua, guru di sekolah dan masyarakat sekitar untuk membentuk suatu lingkungan pendidikan yang unggul. 
Ada teori yang menyatakan bahwa 70% manusia dibentuk dari lingkungan sekitar dan bisa jadi para remaja pemabuk yang sedang diberitakan saat ini tertular sifat-sifat komunitas orang-orang bermental negatif. Jika dikaitkan lagi dengan apa yang disampaikan oleh Sosiolog Indonesia Koentjaraningrat bahwa salah satu watak manusia Indonesia adalah bermental lemah, maka memang kenyataannya hingga saat ini pernyataan beliau masih berlaku. Mental tersebutlah yang harus sama-sama dengan cara bergotong-royong kita hilangkan agar tidak ada lagi kasus mati berjamaah karena miras oplosan. Rumah+Sekolah+Lingkungan adalah tempat pendidikan manusia yang semuanya harus menularkan sifat positif bagi anak. Jadi marilah mulai dari sekarang kita melakukan revolusi karakter masyarakat yang negatif agar menjadi positif demi bangsa Indonesia yang semakin jaya dan tangguh di masa depan.

Sumber dan Gambar:

Posting Komentar

0 Komentar